masukkan script iklan disini
Rabu, 16 Juli 2014 , 21:18:00 WIB
Jurnas.com |
MANTAN Ketua Himpunan Pengusaha Muda
Indonesia (HIPMI) Solo, M Ali Usman, menyatakan telah dua kali melapor
ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan korupsi program
Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Surakarta (BPMKS) saat Joko Widodo
(Jokowi) menjabat Wali Kota Solo.
“Dua kali kami melaporkan ke KPK,
pertama pada September 2012 dan kedua, 27 Juni 2014 lalu. Laporan kedua
diajukan pada Juni lalu karena laporan pertama sejak 2012, KPK belum
menindaklanjutinya. Padahal negara (Pemkot) dirugikan miliaran rupiah,”
ujar M Ali Usman didampingi Konseptor BPMKS, Wahyu Nugroho, di Jakarta,
Rabu (16/7).
Untuk itu, Ali Usman mendesak KPK untuk
memeriksa Jokowi selaku mantan Wali Kota Solo terkait dugaan korupsi
yang merugikan APBD Kota Solo itu. Ali Usman menambahkan, beberapa
bawahan Jokowi saat menjabat Wali Kota sudah diproses secara hukum
terkait dugaan korupsi Program BPMKS itu.
Pada kesempatan itu, Ali Usman
mengingatkan untuk mewaspadai program Kartu Sehat Nasional dan Kartu
Pintar Nasional yang ditawarkan Jokowi selaku calon presiden pada
kampanye Pilpres 2014 ini.
Ali Usman menilai program Kartu Pinatr
Nasional dan Kartu Sehat Nasional sebenarnya merupakan kelanjutan dari
model Kartu Jakarta Pintar dan Kartu Jakarta Sehat. Program ini
berpotensi membuka peluang korupsi dana APBN karena masalah duplikasi
peserta kedua kartu itu sehingga bisa menyebabkan membengkaknya
pembiayaan seperti dalam kasus Program BPMKS.
“Karena itu, Kartu Pintar Nasional dan
Kartu Sehat Nasional sebaiknya dihentikan saja sebelum ada evaluasi
menyeluruh atas pelaksanaan Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta
Pintar, yang dalam pelaksanaan di Ibukota Jakarta juga bermasalah.
Rantai permasalahan model kartu ini terjadi di Kota Solo saat Jokowi
menjabat Wali Kota, yaitu program Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota
Surakarta (BPMKS),” kata Ali Usman.
Ali Usman dan Wahyu Nugroho,
mengkhawatirkan jika model kartu kartu yang akan dijalankan Jokowi akan
terulang seperti di Kota Solo yakni duplikasi data peserta dan sehingga
menimbulkan kerugian APBD miliaran rupiah. “Kami tidak hanya mengimbau
untuk menghentikkan program yang kelihatan menjanjikan dan meninabobokan
rakyat tetapi pada pelaksanaannya bisa membuka peluang korupsi baru,”
kata Ali Usman.
Ali Usman yang pernah mendapat
penghargaan sebagai pengusaha terbaik tahun 2000 dari Anderson
Conculting, Amerika Serikat ini, menegaskan, laporan ke KPK karena ada
dugaan keterlibatan Jokowi saat menjadi Wali Kota Solo dalam pelaksanaan
program BPMKS.
“Kalau Andi Mallarangeng tersangka dan
ditahan karena menyetujui proyek Hambalang, meski tidak menerima uang,
lalu kenapa Jokowi dibiarkan karena adanya kerugian dalam pelaksanaan
BPMKS di Solo, walaupun mungkin Jokowi tidak menerima uang. Namun
program BPMKS itu dijalankan karena Jokowi menandatangani Peraturan Wali
Kota atau Perwali untuk BPMKS pada Juli 2011 dan Juli 2012. Yang jelas,
ini harus diselidiki,” kata Ali Usman.
Sementara itu, Wahyu Nugroho
mengeluarkan keluh kesahnya sebagai Konsultan IT dan penggagas model
BPKMS, yang menjadi cikal bakal Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta
Pintar.
Menurut Wahyu Nugroho, ketika konsep
BPKMS akan dijadikan Kartu Jakarta Sehat dan Pintar, Jokowi tidak lagi
menghubungi dirinya dan tidak meminta izin. “Ya sudahlah, banyak orang
Solo yang tahu bagaimana karakter Jokowi,” katanya.
Audit BPK
BPK menilai Kartu Jakarta Pintar yang terindikasi salah dalam
penyalurannya ke masyarakat. BPK menyebut ada 9.006 penerima ganda,
yakni nama anak dan nama ibu kandung yang identik dan merugikan senilai
Rp13,34 miliar.
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama mengakui bahwa dalam Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang dibawa Joko Widodo itu banyak kejanggalan, salah satunya nama-nama siswa yang dobel. Ahok, sapaan Basuki, mengaku ingin memperbaiki sistem tersebut karena dianggap merugikan negara.
"Masih banyak yang dobel-dobel. Mereka salah tulis nama. Bukan salah bank, sekolah yang salah kirim data," katanya.
Kemudian, persoalan lain yang ditemukan dalam operasi Pemprov terkait distribusi KJP yang tidak tepat sasaran. Banyak siswa miskin yang dihentikan dana KJP-nya karena melanjutkan sekolah di swasta. Menurut Basuki, siswa tersebut seharusnya tetap mendapatkan KJP.
"Anak sekolah dapat KJP di negeri, dia terpaksa masuk swasta karena tidak diterima di negeri. Seharusnya KJP-nya diterusin karena KJP dari SD, SMP, sampai SMA," kata Ahok.
Data penerima KJP mencapai angka 401.767 siswa dengan perincian siswa SD/MI sebanyak 265.695 anak, siswa SMP/MTs 81.945 anak, dan siswa SMA/MA/SMK 63.127 anak.
Sebelumnya, Indonesian Corruption Watch (ICW) merilis hasil riset yang menyebutkan bahwa 19,4 persen dari 405 ribu Kartu Jakarta Pintar (KJP) tidak tepat sasaran.
Penggunaan yang tidak tepat sasaran itu berasal dari semua jenjang pendidikan, yakni SD/MI (14,6 persen), SMP/MTs (3,4 persen), dan SMA/MA/SMK (1,4 persen). Selain itu, berdasarkan persepsi orang tua murid ditemukan bahwa 19,3 persen dari penerima KJP memang tidak tepat sasaran. Sedangkan sisanya, 66,9 persen tepat sasaran.
Riset ICW
berlangsung selama 3 Februari-17 Maret 2014. Metode yang digunakan
adalah Citizen Report Cards (CRC). Dengan metode CRC, ICW membagi
kelompok siswa miskin menjadi dua kelompok, siswa penerima KJP 2013 dan
siswa miskin nonpenerima KJP.
Pada kelompok pertama, CRC menggunakan metode survei kuantitatif untuk menaksir tiga aspek program, tepat sasaran, tepat waktu dan tepat guna/manfaat. Sampel dari siswa kelompok pertama berjumlah 650 orang yang dipilih secara dua tahap (two stage random sampling with probability proporsional to size).
Tahap pertama, periset memilih sekolah secara acak di antara daftar sekolah penerima KJP. Tahap kedua, periset memilih siswa dari sekolah yang terpilih pada tahap pertama. Margin of error sekitar 4-5 persen dengan tingkat signiifikansi 95 persen.
Sampel kedua diperoleh dengan mencari 10 siswa miskin yang belum/tidak menerima KJP secara acak di 35 kelurahan di DKI Jakarta. Kriteria siswa miskin tersebut antara lain orang tua bekerja dengan pendapatan di bawah Rp2,5 juta per bulan.
Sementara itu, biaya dari riset tersebut mencapai Rp80 juta yang berasal dari sponsor. ICW tak bersedia membeberkan siapa sponsor mereka secara detail.
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama mengakui bahwa dalam Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang dibawa Joko Widodo itu banyak kejanggalan, salah satunya nama-nama siswa yang dobel. Ahok, sapaan Basuki, mengaku ingin memperbaiki sistem tersebut karena dianggap merugikan negara.
"Masih banyak yang dobel-dobel. Mereka salah tulis nama. Bukan salah bank, sekolah yang salah kirim data," katanya.
Kemudian, persoalan lain yang ditemukan dalam operasi Pemprov terkait distribusi KJP yang tidak tepat sasaran. Banyak siswa miskin yang dihentikan dana KJP-nya karena melanjutkan sekolah di swasta. Menurut Basuki, siswa tersebut seharusnya tetap mendapatkan KJP.
"Anak sekolah dapat KJP di negeri, dia terpaksa masuk swasta karena tidak diterima di negeri. Seharusnya KJP-nya diterusin karena KJP dari SD, SMP, sampai SMA," kata Ahok.
Data penerima KJP mencapai angka 401.767 siswa dengan perincian siswa SD/MI sebanyak 265.695 anak, siswa SMP/MTs 81.945 anak, dan siswa SMA/MA/SMK 63.127 anak.
Sebelumnya, Indonesian Corruption Watch (ICW) merilis hasil riset yang menyebutkan bahwa 19,4 persen dari 405 ribu Kartu Jakarta Pintar (KJP) tidak tepat sasaran.
Penggunaan yang tidak tepat sasaran itu berasal dari semua jenjang pendidikan, yakni SD/MI (14,6 persen), SMP/MTs (3,4 persen), dan SMA/MA/SMK (1,4 persen). Selain itu, berdasarkan persepsi orang tua murid ditemukan bahwa 19,3 persen dari penerima KJP memang tidak tepat sasaran. Sedangkan sisanya, 66,9 persen tepat sasaran.
Gedung BPK
Pada kelompok pertama, CRC menggunakan metode survei kuantitatif untuk menaksir tiga aspek program, tepat sasaran, tepat waktu dan tepat guna/manfaat. Sampel dari siswa kelompok pertama berjumlah 650 orang yang dipilih secara dua tahap (two stage random sampling with probability proporsional to size).
Tahap pertama, periset memilih sekolah secara acak di antara daftar sekolah penerima KJP. Tahap kedua, periset memilih siswa dari sekolah yang terpilih pada tahap pertama. Margin of error sekitar 4-5 persen dengan tingkat signiifikansi 95 persen.
Sampel kedua diperoleh dengan mencari 10 siswa miskin yang belum/tidak menerima KJP secara acak di 35 kelurahan di DKI Jakarta. Kriteria siswa miskin tersebut antara lain orang tua bekerja dengan pendapatan di bawah Rp2,5 juta per bulan.
Sementara itu, biaya dari riset tersebut mencapai Rp80 juta yang berasal dari sponsor. ICW tak bersedia membeberkan siapa sponsor mereka secara detail.
Reporter : Friederich Batari
Redaktur : Yanuar Jatnika / m.jurnas.com/news
Redaktur : Yanuar Jatnika / m.jurnas.com/news